Langsung ke konten utama

Resensi Novel MAHSI: Belajar Bijak Mengelola Cinta



Judul buku      : Mencintaimu Apa Harus Sesakit ini?
Penulis             : Kurniawan Al Isyhad
Penerbit           : Wahyu Qolbu
Jumlah halaman: 188 hal
Tahun terbit     : 2015

Belajar Bijak Mengelola Cinta
           
Hilman, seorang seniman muda telah melabuhkan cintanya pada Ikrima, seorang perawat cantik. Tanpa memberi kabar pada Ikrima sebelumnya, Hilman mengajak kedua orangtuanya untuk melamar sang pujaan hati. Sayang, ternyata Ikrima sudah dikhitbah oleh pemuda lain meski sebenarnya gadis itu juga mencintai Hilman. Keduanya pun sama-sama patah hati.
Hilman pun jatuh bangun untuk move on. Orangtua Hilman berupaya mencarikan jodoh untuk putranya tetapi selalu tidak pas di hati Hilman. Secantik dan sesempurnanya seorang gadis, cinta tetaplah urusan hati. Hingga takdirpun mempertemukan Hilman dengan Anjani, gadis asal Bali dalam sebuah acara talkshow kepenulisan. Dari pertemuan dan kebersamaan singkat mereka, keduanya saling jatuh cinta. Hilman bukannya tidak tahu kalau Anjani bukan seorang muslimah, tetapi cinta telah membutakannya. Mereka hendak kawin lari sebab kedua orangtua kedua belah pihak saling menentang hubungan mereka. Hilman baru menyadari khilafnya saat ibunya dipanggil Allah.
Hilman berusaha menebus kesalahannya dengan bertaubat dan kembali ke jalan yang diridhoi-Nya. Allah pun memberi jalan bagi Hilman dan Ikrima untuk menikah meski perjalanan ke arah pernikahan penuh onak dan duri. Dalam sebuah kecelakaan, kornea mata Hilman rusak. Dia menjadi buta. Dan Anjani yang dulu sempat dicintai Hilman, telah berhijrah menjadi mualaf dan gadis salihah. Anjani bahkan rela mendonorkan matanya untuk Hilman. Meski akhirnya Anjani tahu bahwa jodoh Hilman adalah Ikrima. Bukan dirinya.
Jalinan kisah dalam novel ini begitu rumit berliku. Kisah perjuangan anak manusia dalam menemukan jodohnya diwarnai dengan konflik batin, pengorbanan fisik, dan juga kehilangan.
Dalam novel ini, penulis ingin menyampaikan pesan bagi pembaca untuk berhati-hati dengan cinta. Cinta memang bisa membuat bahagia tetapi juga bisa menjerumuskan dalam lembah dosa jika kita tidak bijak mengelolanya. Hanya cinta yang sesuai dengan syariat-Nya yang mendapat ridho dan rahmat dari Allah.
Sebagaimana novel-novel Al Isyhad sebelumnya, kisah ini ditulis dengan bahasa yang lugas. Cerita lebih manis dengan puisi romantis. Plotnya mengalir, karakter tokohnya cukup kuat, dan diksinya menarik. Jika suasana hati sedang mellow, pembaca bisa hanyut dan menitikkan air mata.
Namun, saya menemukan kejanggalan. Hilman dan Ikrima diceritakan sangat menjaga adab pergaulan dengan lawan jenis (menjaga pandangan, tidak bersentuhan, dll) tiba-tiba menjadi lebih ‘bebas’ setelah mereka akan menikah. Tentu saja Ikrima kaget mendengar pertanyaan itu. Dia segera menggenggam jemari Hilman. (hal. 180)
Satu lagi, saat orangtua Hilman dan Ikrima bertekad tidak membiarkan keduanya berduaan sebelum menikah (hal. 150), akan tetapi saat perjalanan ke Ponpes Al Bidayah, Ikrima dan Hilman hanya berdua di dalam mobil. Orangtua keduanya berada dalam satu mobil yang berbeda.
Semoga kedepannya tidak terjadi kejanggalan serupa mengingat novel ini adalah novel bergenre religi yang bermuatan dakwah.
Dari sudut pandang saya sebagai pembaca, ada satu pendapat yang berbeda dengan pendapat penulis, bahwa harus ada cinta sebelum menikah. Menurut hemat saya, tanpa cinta pun, dua orang yang telah ditakdirkan untuk berjodoh bisa jadi belum tumbuh benih cinta di antara keduanya sebelum akad nikah. Bahkan mereka yang menikah untuk mencari ridho-Nya, menginginkan cinta tumbuh bersemi setelah akad nikah agar tercipta ketenangan, sesuai janji Allah dalam Q.S Ar Rum: 21.
Saya mengutip dari buku Sayap-Sayap Sakinah hal. 128 bahwa cinta bisa dibangun di dalam sebuah pernikahan sepasang lelaki perempuan, yang bahkan belum memiliki bangunan passionate love ataupun intimacy love. Syaratnya, salah satu dari mereka—atau bagusnya keduanya—memiliki inisiatif untuk terlebih dulu memberikan perhatian dan kasih sayang kepada pasangannya. Mereka harus menyadari bahwa cinta itu adalah sesuatu yang penting untuk diadakan dalam sebuah ikatan komitmen. Ya, sebab cinta saja tak pernah cukup untuk mengarungi biduk rumah tangga. Pernikahan membutuhkan bekal ilmu, komitmen, dana, juga komunikasi antara kedua belah pihak yang terikat dalam mitsaqon gholidzo.
Kehadiran novel religi inspiratif ini memberi pencerahan dan motivasi bagi pembaca. Semoga setiap ketik aksara yang tertera dalam novel ini membawa kebaikan dan mengalirkan pahala jariyah bagi penulisnya.
Selamat membaca.

Diresensi oleh : Arinda Shafa

Komentar

Anjar Sundari mengatakan…
Kadang susah diterima juga ya mbak Arinda, bahwa kita bisa menikah tanpa cinta. Tapi segala hal yang diperintahkan oleh Allah selalu ada jalan keluarnya ya, kita tinggal mengikuti saja maka Allah yang akan membereskan selebihnya :)
Arinda Shafa mengatakan…
Iya mbak anjar. Memang sempat galau saat nikah dulu blm ada rasa cinta.stlah nikah, cinta memang harus diupayakan dan dutumbuhkan. #edisi curcol :D
Trm ksih sudah mampir ya
Hidayah Sulistyowati mengatakan…
Aku jadi membayangkan nikah dan jatuh cinta kemudian, bisa nggak ya misal dulu sama suami dibalik gini, hmmm *ikut curcol
Relita Aprisa mengatakan…
Wah jadi penasaran sama endingnya ih, mengharukan kayanya yaa..sy nunggu tanyang di youtube atau tv aja mba..hehe

Postingan populer dari blog ini

Resensi Novel 'mengejar-Ngejar Mimpi' Dedi Padiku

Judul Buku       : Mengejar-Ngejar Mimpi Penulis              : Dedi Padiku Penerbit            : Asma Nadia Publishing House Jumlah halaman: 324 halaman Tahun Terbit    : Mei 2014 Jungkir Balik Demi Mimpi             Kisah ini berawal dari impian. Mimpi seorang pemuda lugu bernama Dedi yang sejak kecil ditinggal orangtua. Ia menjadi sopir angkot demi bisa makan dan membiayai sekolah. Ia dipertemukan dengan sahabat-sahabat terbaik dan cinta pertama yang kandas, bersamaan dengan kelulusan sekolah.               Mimpinya untuk menjadi orang sukses tak pernah padam, meski suratan nasib mempermainkannya begitu kejam. Meski begitu, ia harus berjuang. Menjemput mimpi untuk bekerja di Jepang. Lagi-lagi, jalan takdir membelokkan arah hidupnya. Ia harus merasakan kembali menjadi sopir, kuli panggul, dan menantang kerasnya hidup di kota Palu dan Manado. Lantas, ibukota pun didatanginya dengan modal nekat, juga sempat berkhianat. Demi bertahan hidup di Jakarta, pekerjaa

Review Film Keluarga Cemara: Menyadarkan Kita akan Makna Keluarga

Assalamu’alaikum, kawans Alhamdulillah kami dapat kesempatan untuk nonton film yang barusan rilis, yaitu Keluarga Cemara. Film yang tayang serentak di bioskop Indonesia sejak tanggal 3 januari 2019 lalu, menyedot banyak penonton dari banyak kalangan. Orangtua, anak-anak, bahkan remaja. Segala usia lah. Di hari kedua tayang, kami sekeluarga berniat nonton mumpung ada jadwal tayang jam 19.15 di DP Mall. Pikir kami, nonton sudah dalam keadaan lega. Udah shalat isya dan makan malam. Jadilah habis maghrib kami turun gunung dalam keadaan mendung pekat. Hujan udah turun. Saya berdoa agar hujan segera berhenti demi menepati janji sama anak-anak. Alhamdulillah doa saya terkabul. Namun, eng ing eng! Ada tragedi kehabisan bensin di tengah jalan sehingga sampai di bioskop sudah lewat setengah jam. Ternyata jadwal tayang jam 19.15 juga sudah sold out. Akhirnya kepalang tanggung sudah sampai di sini. Kami ambil tiket yang mulai jam 21.35 dan dapat seat baris kedua dari layar. It means

(Resensi) Novel Guru Aini: Tentang Cita-Cita, Keberanian, dan Idealisme

Judul                : Guru Aini Penulis              : Andrea Hirata Penerbit            : Bentang Pustaka Cetakan            : pertama, Februari 2020 Jumlah hal        : 336 halaman ISBN                : 978-602-291-686-4 sumber: www.mizanstore.com             Gadis lulusan terbaik itu bernama Desi. Jelita, jangkung, dan cerdas bukan buatan meski berkemauan kuat dan berkepala batu. Orangtuanya juragan terpandang. Dengan berbagai anugerah itu, Desi bisa menjadi apapun yang dia inginkan. Namun tak dinyana, di usianya yang baru 18 tahun, dia sudah mengambil keputusan besar dalam hidupnya. Desi ingin mengabdi di pelosok desa sebagai guru matematika sebab negeri ini kekurangan guru matematika. Desi tak sedikitpun tergiur oleh karir-karir menjanjikan di luar sana. Menjadi guru adalah panggilan jiwa.             Sang ayah memberikan hadiah sepasang sepatu olahraga untuk Desi untuk menggapai cita-citanya. Sepatu isti